Benih Romantisme dalam Intelektualitas

Benih Romantisme dalam Intelektualitas

“Tanpa cinta, kecerdasan itu berbahaya, dan tanpa kecerdasan, cinta itu tidak cukup." - Film Habibie & Ainun

Sepanjang sejarah, kisah cinta identik dengan kemesraan antara dua jenis manusia, pria dan wanita. Sebut saja kisah cinta yang sudah mendunia seperti Romeo dan Juliet. Label romantis dalam bingkai cinta seolah sudah melekat pada manusia, sehingga seakan-akan tanpa romantisme cinta itu hambar.

Dalam kalangan mahasiswa fenomena romantisme di kampus tak sulit untuk ditemui, tentunya dengan berbagai variasi. Ada yang masih wajar namun ada juga yang lebih ekstrim, yaitu romantisme platonis yang lebih mengutamakan pada hawa nafsu. Keadaan yang seperti ini perlahan menggeser peran dasar mahasiswa sebagai agent of control.

Melihat peran mahasiswa sebagai kontrol sosial, fenomena romantisme di kampus perlu kiranya untuk dimonitor. Jangan sampai mahasiswa menjadi suatu kelompok yang melakukan aksi "lempar batu sembunyi tangan". Mereka dengan semangat perjuangan mengontrol fenomena di sekitarnya, akan tetapi melupakan kontrol terhadap fenomena romantisme yang terjadi dalam internal kampus mereka. 

Romantisme di kalangan mahasiswa juga bukan merupakan hal yang baru. Dan merupakan tugas kita selaku generasi intelektual bangsa untuk melakukan 'monitoring' dan 'controling’ terhadap hal tersebut, karena sesuatu yang tidak dikontrol bisa mendatangkan mudharat. Kontrol yang dilakukan bukanlah berupa kekangan terhadap romantisme, melainkan lebih kepada kontrol pemikiran dan paradigma terhadap romantisme itu sendiri.

Bernard Shaw pernah berujar "progress is impossible without change and those who cannot change their minds cannot change anything." (Peningkatan itu tidak mungkin tanpa adanya perubahan, dan mereka yang tidak bisa mengubah pikiran mereka tidak bisa mengubah apapun). Pemikiran terhadap romantisme perlu dikaji lagi, mengingat pada praktiknya romantisme menjadi pedoman bagi mahasiswa yang ingin merealisasikan perasaannya kepada lawan jenis, yang kemudian bisa membawa pada hal-hal yang negatif.

"Orang yang terpelajar (mahasiswa) harus berpikir adil sejak dari pemikiran, apalagi dengan perbuatan". (Pramoedya Ananta Toer). Jika kita mengamati perkataan Pramoedya Ananta Toer tersebut maka pemikiranlah yang terpenting. Pemikiran dasar dari mahasiswa tentang romantisme haruslah direkonstruksi kembali.

Hal ini sejalan dengan pendapat Albert Einstein yang mengatakan "we cannot solve problems by using the same kind of thinking we used when we created them". (Kita tidak dapat menyelesaikan masalah dengan menggunakan pemikiran yang sama saat kita membuat masalah tersebut). Sekali lagi, mindset menjadi pondasi yang harus diperkuat dalam mengartikan romantisme itu sendiri. Dan mahasiswa sebagai agent of change harus bisa mengubah mindset yang keliru terhadap romantisme menjadi mindset yang tepat. Lalu, mindset seperti apa yang harus kita tanamkan?

Romantisme dan intelektualitas

Menurut pengakuan Jamaluddin, mantan mahasiswa yang sekarang merupakan dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pamekasan, ada perubahan yang signifikan antara mahasiswa tempo dulu dengan mahasiswa sekarang. Menurutnya, dulu saat fasilitas dan sarana tidak begitu memadai, tempat-tempat tertentu di kampus tidak akan sepi dari suara-suara intelektualis muda. Forum diskusi dan sharing menjadi hal yang biasa ditemukan pada saat itu.

Namun kembali ke masa kini, hal-hal yang bersifat konstruktif seperti itu sudah jarang ditemul. Akibatnya, pada jam-jam 'keramat', yakni saat tidak adanya jam kuliah, kampus akan mengalami 'mati suri' dengan tidak adanya suara-suara intelektualis. Bahkan kalangan mahasiswa yang mengaku sebagai aktivis kampus juga turut menyumbang kengerian dalam kampus. Gedung Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) atau juga disebut kesekretariatan mahasiswa yang seharusnya menjadi pusat kegiatan organisasi kampus Justru disalahgunakan oleh beberapa aktivis yang belum sepenuhnya menjadi aktivis. Gedung yang dibangun untuk mengasah kemampuan berorganisasi mahasiswa tersebut dijadikan sebagai tempat yang strategis untuk berpacaran, Kantor UKK dan UKM berkali-kali diisi oleh dua sejoli yang hanya ingin meluangkan waktu berdua di sana. Hal ini menimbulkan suasana angker dalam gedung yang seharusnya diisi dengan kegiatan yang bersifat intelektual itu. Title sebagai aktivis terkadang hanya menjadi modus untuk menuju kepada romantisme yang tidak membangun kawasan intelektualitas mereka.

Edward Shill mengkategorikan mahasiswa sebagai lapisan intelektual yang memliki tanggung jawab sosial yang khas, Tanggung jawab sosial ini tidak akan berfungsi jika mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada ranah sosial di sekitarnya. Dan untuk mengetahui hal tersebut diperlukan transfer informasi dan transfer pemikiran sehingga fungsi mahasiswa sebagal agent of social control bisa berjalan dengan baik. Betapa pentingnya intelektualitas bagi mahasiswa, sehingga mahasiswa selalu dilabelkan sebagai "kaum intelektualitas". Namun jika kita melihat mahasiswa-mahasiswa romantis yang mengumbar cinta dalam balutan nafsu, apakah label 'intelektualis' masih pantas?

Kembali lagi pada quotes pembuka tulisan ini yang diambil dari film Habibie dan Ainun, cinta dan kecerdasan, romantisme dan intelektual harus menyatu. Mahasiswa yang merupakan kaum intelektual harus bisa memposisikan dirinya sebagai intelektualne tanpa melupakan sisi romantis pada dirinya. Namun romantisme disini bukan lagi romantisme yang bersifat hedonisme, yang hanya memikirkan kesenangan sesaat. Mindset mengenal romantisme akan kita ubah ke arah yang positif.

Jika sebelumnya romantisme erat kaitannya dengan pacaran, maka sekarang romantisme adalah suatu bentuk realisasi dan pengokohan dari intelektualitas mahasiswa. Saat kedua lawan jenis bertemu dalam suatu tempat, jadilah pribadi yang romantis dan intelektualis di saat yang bersamaan. Jadikan diskusi dan sharing sebagai appetizer pembuka) dari romantisme. Kemudian lanjutkan dengan kemesraan dan keselarasan dalam mencari solusi dari permasalahan kampus dan juga manusia yang beragam.

Surat cinta bukan lagi melalui kata-kata yang dirangkai indah bak pujangga asmara. Surat cinta romantis yaitu melalui buku-buku yang mengasah pemikiran. Dan realisasikan romantisme dalam bentuk perubahan diri menjadi lebih baik. Maka tidak salah apa yang dikatakan oleh Akhmad Argom dalama bukunya Manage Your Character, Control Your Habit and Get Success, "Cinta bukanlah hanya cita rasa dan kata-kata, tetapi ia adalah karya nyata."


Tulisan ini terbit di Buletin Mitra LPM Activita STAIN Pamekasan

0 Response to "Benih Romantisme dalam Intelektualitas"

Posting Komentar

Apa pendapatmu tentang tulisan ini?

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel