
Alumni yang Sukses Karena Allah
Hujan masih deras saat crew Warta menemui orang nomor dua di kabupaten Pamekasan. Dengan ramah, Wakil Bupati Pamekasan, Khalil Asy’ari mempersilahkan kami untuk duduk di kantornya. Ia adalah pria kelahiran Sampang, tepatnya di Desa Karanganyar, Kecamatan Ketapang. Orangtuanya yang cuma lulusan madrasah hanya mampu memenuhi biaya hidup keluarga. Namun, keadaan ekonomi yang seperti itu tidak mampu membendung keinginan Khalil untuk mencari ilmu.
Pada tahun 1975 ia melanjutkan pendidikan menengah pertamanya, sekaligus menjadi santri di Pondok Pesantren Darul Ulum Pamekasan. Setelah tamat dari Madrasah Ali yah (MA), ia melanjutkan studi ke STAIN Pamekasan (ketika itu masih menjadi IAIN cabang) pada tahun 1986. Kedua orang tuanya tidak mampu membiayai kuliahnya. Namun dengan tujuan semata-mata untuk mencari ilmu dan dorongan dari guru dan teman-temannya, Khalil tetap nekat menempuh pendidikan tinggi.
Hal yang tidak bisa ia lupakan selama kuliah adalah saat berangkat kuliah. Seringkali, ia berjalan kaki sekitar 1 km dari pondok ke kampus. Ketika menaiki angkutan umum, Khalil sering berterus terang pada supir kalau ia tidak punya uang. Untungnya, supir angkot banyak yang mengerti dan memberinya tumpangan gratis. Ia juga pernah mendapatkan nilai nol. Itu karena adanya perbedaan pendapat dengan dosennya.
“Saya dan teman-teman pada waktu itu ketika ujian banyak yang dapat nilai nol. Padahal perkuliahan ikut, semester ikut, tugas juga dikerjakan. Kadang-kadang persoalannya hanya karena adanya perbedaan pandangan dengan dosen di ruang kuliah. Ketika dosen menyampaikan kuliahnya, kemudian ditanggapi berbeda oleh mahasiswa. Kadang-kadang dosen itu mungkin kurang suka, sehingga nilai semesternya dapat nol,” ujarnya tersenyum, mengenang masa lalu.
Ia membayar biaya perkuliahan dengan cara berhutang. Untuk melunasinya, ia membantu mengajar di sekolah-sekolah. Kadang ia mendapat uang lelah, walaupun tidak tetap. Meski tidak banyak, orang tuanya juga mengirimkan uang.
Ia bukanlah aktivis organisasi kampus, baik intra maupun ekstra. Namun ia aktif dalam perkumpulan santri. Pada tahun1989, ia menjadi Ketua Ikatan Mahasiswa Darul Ulum (sekarang menjadi Forum Komunikasi Santri Banyuanyar/ FKMSB). Ia mengaku, sebenarnya keinginan untuk aktif berorganisasi ada. Akan tetapi karena waktu itu ia masih berstatus sebagai santri, maka ia merasa kesulitan untuk aktif berorgaisasi di luar pesantren, terutama masalah waktu. Meski demikian, ia sering berkumpul dengan aktivis organisasi.
Khalil tidak pernah berkeinginan untuk terjun ke dunia politik dan pemerintahan. Ia sadar bahwa ia berasal dari keluarga yang tidak mampu. Namun takdir berkata lain. Pada tahun 1999 ia diminta untuk menjadi pengurus salah satu partai di kecamatan. Meski awalnya menolak, karena mendapatkan banyak dorongan, akhirnya ia menjadi ketua partai. Pada waktu itu sudah mendekati pemilu 1999. Ia menjadi calon legislatif, dan berada di urutan kelima. Yang dipilih menjadi legislatif adalah 3 orang, yakni caleg dari no. 1 sampai 3. Karena caleg nomer 3 tidak mau dilantik, secara otomatis digantikan oleh caleg no. 4. Namun karena saat itu yang bersangkutan tidak berada di Indonesia, akhirnya Khalil yang berada di urutan kelima dilantik menjadi anggota legislatif.
Pemilu berikutnya ia sudah tidak mau mencalonkan diri lagi, karena ia mengaku tidak begitu tertarik dengan dunia politik. Takdir berkata lain, ia kembali terpilih menjadi legislatif pada pemilihan selanjutnya. Kemudian pengurus partai meminta Khalil untuk menjadi calon pimpinan DPRD. Dan ia terpilih menjadi Ketua DPRD periode (2003-2008) dan (2008-2013). Namun masa jabatannya sebagai ketua DPRD periode (2008-2013) tidak sampai selesai, karena ia mendampingi bupati sebagai wakil bupati.
Ia tidak memiliki kiat-kiat khusus agar bisa bertahan di dunia politik. Tidak ada upaya khusus yang ia lakukan, dan tidak ada hal-hal yang menunjukkan kelebihannya. “Semuanya berjalan secara kebetulan saja. Yang pertama, memang tidak lepas dari peran atau mungkin bahasa lainnya adalah barokah dari orang tua dan guru,” pungkasnya.
“Pada waktu saya kuliah dulu, banyak anggapan miring tentang IAIN (STAIN Pamekasan.red). Mahasiswa IAIN selalu diidentikkan dengan KUA saja. Oleh karena itu, kita harus bisa menunjukkan bahwa STAIN Pamekasan adalah mahasiswa yang bisa berkiprah di tengah-tengah masyarakat. Juga bisa mengaplikasikan tri dharma perguruan tinggi di tengah-tengah masyarakat,” pesannya kepada mahasiswa STAIN Pamekasan.
Kedepannya, ia ingin lebih berkiprah di masyarakat. Ia melihat bahwa antusiasme masyarakat terhadap pendidikan sudah tinggi, akan tetapi niai nilai yang ada dalam masyarakat masih naik turun, terutama nilai-nilai kepribadian dan keagamaan. Untuk politik, Kholil tidak mempunyai niat untuk terus berada di dalamnya. Ia juga tidak ingin meninggalkan keluarganya lemah dalam segalanya, terutama dalam keilmuan dan agama.
“Saya tidak ada niatan dan keinginan untuk terus di dunia politik. Do’akan saja mudah-mudahan hanya cukup sampai di sini. Tapi sekali lagi kita tidak bisa melawan kehendak Allah,” pungkasnya. (*)
Tulisan ini dimuat di Tabloid WARTA STAIN Pamekasan Edisi 1 (Januari-April 2014) dalam rubrik "Alumni" saat penulis menjadi reporter di tabloid tersebut.
0 Response to "Alumni yang Sukses Karena Allah"
Posting Komentar
Apa pendapatmu tentang tulisan ini?