
Demokrasi Gaya Baru, Gerakan yang Menginspirasi
Selama lebih dari 350 tahun dan beberapa tahun sesudahnya, Indonesia berada dalam kendali asing. Pengekangan kebebasan, rantai pemikiran dan pemusnahan nyawa adalah makanan pahit yang selalu disuguhkan setiap hari. Butuh waktu yang lama Indonesia bisa bangkit dan berdiri tegap di hadapan asing, dengan mengangkat bambu runcing yang merupakan lambang perjuangan rakyat jelata. Perjuangan rakyat Indonesia telah dimulai jauh sebelum pertumpahan darah terjadi.
Perjuangan berawal dari kaum terdidik, pemuda-pemudi Indonesia yang tersebar di seantero negeri. Setelah gerah dengan perlakuan Belanda di tanah air, para pemuda berkumpul dan saling bertukar pikiran. Diskusi-diskusi semakin gencar dilakukan. Awalnya hanya sekedar perkumpulan pemuda yang muak dengan penjajahan. Kemudian bertransformasi menjadi sebuah gerakan. Gerakan-gerakan yang menamakan dirinya Jong mulai bermunculan. Hal tersebut diduplikasi oleh daerah lain, lalu berkumpul dan menyatakan ikrarnya pada sumpah pemuda 28 Oktober 1928.
Gerakan bawah tanah menjadi awal keberanian rakyat untuk melawan penindasan. Gerakan yang berkembang secara masif yang dipelopori oleh pemuda terbaik bangsa sulit untuk dibendung oleh penjajah. Puncaknya, pada 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta menyampaikan Proklamasi Kemerdekaan Repubik Indonesia –setelah sebelumnya didorong oleh pemuda untuk segera memproklamirkan kemerdekaan.
Tak bisa dipungkiri, masa pra kemerdekaan didominasi oleh pemuda Indonesia dengan gerakan tanpa suara (unspoken move). Tujuannya cuma satu, menghapuskan penjajahan dan mengangkat tirai kemerdekaan. Mungkin itulah yang menjadikan Indonesia bisa bersuara lantang di hadapan negara-negara lain kala itu. Saat itu Indonesia yang baru saja meraih kemerdekaan disegani dan dihormati oleh dunia.
Barangkali saat ini Indonesia masih disegani jika semangat yang bersatu padu itu tetap mendarah daging. Kenyataannya, Indonesia yang merupakan negara ketiga terbesar di dunia ini mengalami krisis multi dimensi yang berkepanjangan. Pendidikan yang belum merata dan berkualitas barangkali menjadi pusat dari serangkaian masalah yang ada. Belum lagi masalah ketimpangan ekonomi antara si kaya dengan si miskin. Pembangunan yang terpusat di Jawa, kesejahteraan petani dan persoalan hukum juga mewarnai negeri yang pada masa lalu dijuluki macan asia ini.
Setelah era reformasi –yang juga terjadi karena peran pemuda- mental orde baru pun masih terpelihara dan beranak pinak, bahkan melebur dengan mental pemuda masa kini. Paradigma berpikir pemuda khususnya mahasiswa semakin terpuruk dan menjauh dari semangat pemuda pada masa lalu. Memang benar, keadaan yang sulit dan kesamaan nasib akan mendorong manusia untuk lebih gigih berjuang. Sebaliknya, karena negeri ini seolah-olah sudah merdeka, dengan mudahnya semangat untuk mempertahankan kemerdekaan memudar.
Kehidupan yang serba mudah menjadikan mahasiswa enggan untuk berbuat dan bergerak demi menyumbangkan ilmu yang dimiliki kepada masyarakat. Organisasi mahasiswa tampaknya juga hanya dijadkan tempat untuk menempa kecakapan pribadi dan kemampuan personal, tanpa dlanjutkan ke tahap yang lebih penting, yakni memberikan sumbangsih untuk masyarakat sekitar.
Mahasiswa seringkali dilabeli sebagai agen perubahan (agent of change). Hal ini tidak berlebihan, mengingat peran mahasiswa yang selalu menjadi motor penggerak perubahan dalam sejarah bangsa. Setelah masa reformasi, semangat seperti itu mulai kehilangan jati diri. Pada masa lampau, demonstrasi mungkin adalah cara terbaik untuk bersuara, mengingat tekanan yang begitu intens dari pemerintah pada saat itu. Kini, saat semua orang bisa bersuara, demo dan aksi turun ke jalan seolah menjadi tontonan yang menjemukan yang selalu saja terjadi –dan menjadi makanan empuk pemberitaan media cetak maupun elektronik. Apakah hanya demonstrasi satu-satunya cara untuk berdialog dengan pemerintah? Tentu tidak. Ada cara lain yang lebih efektif dan elegan.
Gerakan yang menginspirasi. Sejak awal itulah yang menjadi intisari kemerdekaan. Gerakan murni yang didasarkan pada kesamaan visi, bukan berorientasi materi. Gerakan yang tidak dikotori oleh kepentingan dan kesenangan perseoraangan. Tentu yang namanya gerakan itu bersifat spontan, tapi ada juga gerakan yang bersifat sistematis tanpa kehilangan esensi gerakan.
Contoh yang paling nyata adalah gerakan kemanusiaan seperti yang dilakukan untuk membantu korban kekejaman israel di jalur Gaza. Tanpa pelu mengenal satu sama lain, banyak orang yang berpartisipasi, baik itu menyumbangkan sesuatu maupun turun langsung ke lokasi. Mungkin awalnya hanya dilakukan oleh beberapa orang di satu tempat. Tapi lama-kelamaan hal yang sama akan dilakukan oleh orang lain di tempat yang berbeda namun dengan semangat yang sama.
Banyak hal telah dilakukan oleh masyarakat dengan gerakan tanpa suara (unspoken move) semacam ini. Dalam bidang kesehatan ada Bood For Life yang fokus untuk mengumpulkan darah dari donatur dan menyalurkannya kepada pihak yang membutuhkan darah, dimanapun dan kapanpun. Dalam bidang pendidikan ada Indonesia Mengajar yang mengirim relawan pengajar ke tempat terpencil selama 1 bulan untuk mengajar. Tentu masih banyak gerakan tersembunyi lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Semua yang telah disebutkan diatas tidak berjalan sendiri-sendiri. Setelah gerakan tersebut muncul ke permukaan dan dikenal oleh masyarakat, gerakan lain yang serupa semakin banyak brmunculan. Hal itu membuktikan bahwa rakyat Indonesia masih peduli dengan saudaranya sesama warga Indonesia. Yang diperlukan hanya sedikit stimulus berupa gerakan yang menginspirasi. Inilah demokrasi gaya baru yang diperlukan oleh Indonesia saat ini.
Mahasiswa sebagai kaum terdidik tentu bisa melakukan lebih dari sekedar belajar di kelas dan aksi turun ke jalan. Kalau mahasiswa bisa mengangkat megphone dan berteriak dengan lantang ‘seolah’ membawa suara rakyat, mengapa tidak langsung mendatangi rakyat dan berbuat sesuatu yang nyata untuk mereka?
Kampus bukan hanya sarana untuk menempa kemampuan dan kecakapan pribadi. Lebih dari itu, dunia kampus bisa dijadikan sebagai tempat melatih diri (training ground) untuk meakukan gerakan yang berarti dan dibutuhkan masyarakat sekitar. Gerakan disini tidak harus besar. Gerakan-gerakan kecil namun konsisten dan punya tujuan yang jelas sudah lebih dari cukup. Dengan demikian nantinya mahasiswa akan menjadi inspirasi untuk masyarakat di sekitar bahkan pemerintah setempat untuk juga turut serta berkontribusi nyata.
Tulisan ini dimuat di Koran Kabar Madura pada rubrik Opini edisi 10 September 2014.
0 Response to "Demokrasi Gaya Baru, Gerakan yang Menginspirasi"
Posting Komentar
Apa pendapatmu tentang tulisan ini?