
Mahasiswa sebagai Agen Perdamaian
Sebagai kaum terdidik, mahasiswa kerap kali disebut sebagai agent of change dan agent of social control. Stereotype itu bukan tanpa alasan. Sejak masa pra kemerdekaan mahasiswa selalu berada di garda terdepan memperjuangkan hak kemerdekaan dari cengkraman penjajah. Berbagai gerakan pun terbentuk dari berbagai bendera. Gerakan mahasiswa yang menolak penjajahan terbagi dalam berbagai macam gerakan. Ada golongan nasionalis, golongan agamis, bahkan golongan komunis. Perbedaan seakan lenyap saat semua golongan tersebut menyatu dalam satu tujuan: berjuang melawan penindasan, untuk perdamaian negara.
Kalau boleh menambahkan, ada satu gelar lagi yang harus diberikan kepada mahasiswa: agent of peace (agen perdamaian). Perdamaian disini bukan perdamaian semu, melainkan perdamaian dalam konteks yang luas. Perdamaian seringkali diartikan sebagai suatu keadaan yang terkendali dan tidak ada pertentangan. Padahal menurut saya perdamaian itu penuh dengan pertentangan dan perbedaan, baik perbedaan pemikiran, cara pandang maupun perbedaan keyakinan.
Saat kita bicara tentang perbedaan keyakinan –hal yang sangat sensitif menurut saya- tentu kita masih ingat kejadian di beberapa daerah terkait perbedaan agama yang berakhir bentrok. Kerusuhan di Poso yang terjadi selama bertahun-tahun adalah contoh paling nyata yang terjadi di negara kita. Yang terdekat adalah konflik syiah di Sampang yang berakhir dengan pembakaran pemukiman warga dan rekonsiliasi yang belum sepenuhnya terlaksana. Bahkan isu yang terbaru terjadi di ibukota. Front Pembela Islam (FPI) menolak keras Basuki Cahya Purnama (Ahok) sebagai gubernur DKI Jakarta menggantikan Jokowi. Penolakan tersebut diwarnai dengan aksi anarkis berupa pelemparan batu ke petugas kepolisian. Sederetan konflik lain masih terus mewarnai kehidupan bermasyarakat.
Konflik antar umat beragama yang berujung kekerasan kerap kali terjadi di negara ini. Padahal, Indonesia menganut Bhineka Tunggal Ika. Berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Yang dimaksud berbeda disini bukan hanya berbeda dalam etnis, ras, maupun budaya. Perbedaan keyakinan juga termasuk di dalamnya.
Jika kita kembali ke momen terbentuknya negara, kita akan semakin yakin kalau Indonesia –sejak awal pembentukannya- merupakan negara damai yang anti kerusuhan dalam beragama. Awalnya, sila pertama dalam Pancasila –yang tertuang dalam Piagam Jakarta- berbunyi “Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluknya”. Sila tersebut menjadi sengketa dan ditentang oleh orang-orang yang tidak beragama Islam. Saat sidang pertama PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 yang dihadiri oleh 9 tokoh (panitia sembilan), toleransi beragama diperlihatkan secara gamblang.
KH. A. Wahid Hasyim yang notabene adalah perwakilan dari Nahdlatul Ulama justru mengusulkan agar sila pertama dalam Piagam Jakarta diganti. Hal itu dimaksudkan agar tidak terjadi perpecahan dalam tubuh NKRI yang terdiri dari banyak agama. Selanjutnya, sila pertama berubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian sila itu bisa mengakomodir semua agama monoteisme, namun tetap sesuai dengan ajaran Islam.
Sikap tersebut seharusnya bisa kita contoh di era sekarang. Bukan hal yang sulit, juga bukan hal yang mudah. Kita tidak akan bisa menciptakan perdamaian antar umat beragama jika hanya dilakukan seorang diri. Dengan menyatukan visi dan bergandengan tangan dalam semangat gotong royong, kita sebagai generasi muda pasti bisa mewujudkannya.
Gotong royong yang merupakan ruh ketimuran semestinya tetap kita lestarikan. Untuk mewujudkannya kita bisa mulai dengan hal-hal kecil. Sebagai mahasiswa, kita bisa lebih sering melakukan komunikasi lintas agama. Misalnya saja, membentuk sebuah forum di kampus yang menyatukan semua agama untuk bertukar pemahaman tentang ajaran agama masing-masing. Setelah hal tersebut dilakukan terus menerus, maka akan terbentuk kepercayaan satu sama lain. Kepercayaan ini akan menjadi modal berharga untuk tahap selanjutnya.
Setelah semua anggota forum bisa membaur dan ada ‘trust’ di dalamnya, selanjutnya bawalah forum itu keluar dari kampus. Ajak semua anggota untuk menyelami kehidupan tiap pemeluk agama dengan membawa mereka ke masyarakat pemeluk agama yang berbeda secara bergantian. Dengan melakukan hal ini, maka kita akan tahu bahwa kehidupan antar pemeluk agama sebenarnya tidak jauh berbeda. Mereka sama-sama manusia.
Kemudian carilah pengikat yang lebih kuat lagi, yakni dengan mencari isu bersama. Isu kemanusiaan adalah langkah yang paling tepat. Banyak sekali isu kemanusiaan di sekitar yang bisa diangkat, didiskusikan, dan diperjuangkan bersama untuk mencari solusi. Saat semua pemeluk agama bersatu dan membela rakyat terkait isu kemanusiaan, masyarakat sekitar akan melihat hal tersebut, dan mindset yang selama ini tertanam –yang menganggap bahwa orang yang berbeda agama tidak bisa bersatu- akan berubah dengan sendirinya.
Jika hal tersebut bisa kita terapkan dalam lingkungan kecil kita, yakni kampus, maka mahasiswa sebagai agent of peace bukan hanya isapan jempol semata.
Kalau boleh menambahkan, ada satu gelar lagi yang harus diberikan kepada mahasiswa: agent of peace (agen perdamaian). Perdamaian disini bukan perdamaian semu, melainkan perdamaian dalam konteks yang luas. Perdamaian seringkali diartikan sebagai suatu keadaan yang terkendali dan tidak ada pertentangan. Padahal menurut saya perdamaian itu penuh dengan pertentangan dan perbedaan, baik perbedaan pemikiran, cara pandang maupun perbedaan keyakinan.
Saat kita bicara tentang perbedaan keyakinan –hal yang sangat sensitif menurut saya- tentu kita masih ingat kejadian di beberapa daerah terkait perbedaan agama yang berakhir bentrok. Kerusuhan di Poso yang terjadi selama bertahun-tahun adalah contoh paling nyata yang terjadi di negara kita. Yang terdekat adalah konflik syiah di Sampang yang berakhir dengan pembakaran pemukiman warga dan rekonsiliasi yang belum sepenuhnya terlaksana. Bahkan isu yang terbaru terjadi di ibukota. Front Pembela Islam (FPI) menolak keras Basuki Cahya Purnama (Ahok) sebagai gubernur DKI Jakarta menggantikan Jokowi. Penolakan tersebut diwarnai dengan aksi anarkis berupa pelemparan batu ke petugas kepolisian. Sederetan konflik lain masih terus mewarnai kehidupan bermasyarakat.
Konflik antar umat beragama yang berujung kekerasan kerap kali terjadi di negara ini. Padahal, Indonesia menganut Bhineka Tunggal Ika. Berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Yang dimaksud berbeda disini bukan hanya berbeda dalam etnis, ras, maupun budaya. Perbedaan keyakinan juga termasuk di dalamnya.
Jika kita kembali ke momen terbentuknya negara, kita akan semakin yakin kalau Indonesia –sejak awal pembentukannya- merupakan negara damai yang anti kerusuhan dalam beragama. Awalnya, sila pertama dalam Pancasila –yang tertuang dalam Piagam Jakarta- berbunyi “Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluknya”. Sila tersebut menjadi sengketa dan ditentang oleh orang-orang yang tidak beragama Islam. Saat sidang pertama PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 yang dihadiri oleh 9 tokoh (panitia sembilan), toleransi beragama diperlihatkan secara gamblang.
KH. A. Wahid Hasyim yang notabene adalah perwakilan dari Nahdlatul Ulama justru mengusulkan agar sila pertama dalam Piagam Jakarta diganti. Hal itu dimaksudkan agar tidak terjadi perpecahan dalam tubuh NKRI yang terdiri dari banyak agama. Selanjutnya, sila pertama berubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian sila itu bisa mengakomodir semua agama monoteisme, namun tetap sesuai dengan ajaran Islam.
Sikap tersebut seharusnya bisa kita contoh di era sekarang. Bukan hal yang sulit, juga bukan hal yang mudah. Kita tidak akan bisa menciptakan perdamaian antar umat beragama jika hanya dilakukan seorang diri. Dengan menyatukan visi dan bergandengan tangan dalam semangat gotong royong, kita sebagai generasi muda pasti bisa mewujudkannya.
Gotong royong yang merupakan ruh ketimuran semestinya tetap kita lestarikan. Untuk mewujudkannya kita bisa mulai dengan hal-hal kecil. Sebagai mahasiswa, kita bisa lebih sering melakukan komunikasi lintas agama. Misalnya saja, membentuk sebuah forum di kampus yang menyatukan semua agama untuk bertukar pemahaman tentang ajaran agama masing-masing. Setelah hal tersebut dilakukan terus menerus, maka akan terbentuk kepercayaan satu sama lain. Kepercayaan ini akan menjadi modal berharga untuk tahap selanjutnya.
Setelah semua anggota forum bisa membaur dan ada ‘trust’ di dalamnya, selanjutnya bawalah forum itu keluar dari kampus. Ajak semua anggota untuk menyelami kehidupan tiap pemeluk agama dengan membawa mereka ke masyarakat pemeluk agama yang berbeda secara bergantian. Dengan melakukan hal ini, maka kita akan tahu bahwa kehidupan antar pemeluk agama sebenarnya tidak jauh berbeda. Mereka sama-sama manusia.
Kemudian carilah pengikat yang lebih kuat lagi, yakni dengan mencari isu bersama. Isu kemanusiaan adalah langkah yang paling tepat. Banyak sekali isu kemanusiaan di sekitar yang bisa diangkat, didiskusikan, dan diperjuangkan bersama untuk mencari solusi. Saat semua pemeluk agama bersatu dan membela rakyat terkait isu kemanusiaan, masyarakat sekitar akan melihat hal tersebut, dan mindset yang selama ini tertanam –yang menganggap bahwa orang yang berbeda agama tidak bisa bersatu- akan berubah dengan sendirinya.
Jika hal tersebut bisa kita terapkan dalam lingkungan kecil kita, yakni kampus, maka mahasiswa sebagai agent of peace bukan hanya isapan jempol semata.
0 Response to "Mahasiswa sebagai Agen Perdamaian"
Posting Komentar
Apa pendapatmu tentang tulisan ini?