Surat Seorang Pekerja

Surat Seorang Pekerja

Ini adalah hari minggu. Satu-satunya hari dalam seminggu aku bisa bersantai bersama keluargaku. Aku sudah sarapan, olahraga, mandi, dan bercanda dengan cucuku. Kebetulan di depan ada pulpen dan kertas. Sudah lama aku ingin menulis sesuatu, tapi tak sempat. Tanganku yang sudah mulai keriput menuliskan kata per kata di selembar kertas.

Minggu yang indah. Saat aku menulis surat ini, tanaman anggrek koleksiku sedang mekar, indah sekali. Cucuku yang lucu tak mau jauh dariku dan terus mengganggu kakeknya yang sedang menulis. Cuma ada kami berdua di rumah yang luas ini. Istriku sedang pergi ke rumah saudaranya. Bapak dan Ibu dari cucuku sedang pergi melakukan kegiatan rutin mereka. Mereka pergi bekerja hampir setiap hari. Tujuannya mulia, untuk membesarkan anak mereka dengan fasilitas yang serba mewah.
Dulu aku sama seperti mereka. 

Aku ingin berbagi cerita, mengenai kehidupan dan pekerjaanku sewaktu masih muda. Sebenarnya banyak yang ingin aku utarakan, tapi tanganku yang keriput sulit menuliskan banyak kalimat. Jadi, cerita yang banyak itu aku mampatkan.

Aku adalah seorang pekerja keras. Di pagi buta aku sudah memakai seragam kebanggaanku. Seragam yang sederhana, tak terlalu mewah menurutku. Aku nyaman memakainya. Di jalan yang masih sepi, mobil langgananku berhenti. Tanpa perlu mengucapkan sepatah kata, mobil itu membawaku melenggang pergi ke tempat kerja.

Bersama dengan rekan kerjaku yang lain, kami membagi tugas dan lokasi kerja. Pekerjaanku mengharuskan aku untuk bekerja dimana pun dan kapan pun. Saat ini aku sedang ada proyek di perumahan elit di sekitar Jakarta. Karena aku sudah berpengalaman, aku mendapatkan sepertiga dari kawasan perumahan untuk aku garap. Aku menyanggupi hal tersebut, tentu saja karena aku seorang profesional.

Aku bekerja tak kenal waktu. Berangkat pagi-pagi sekali, lalu pulang hingga larut malam. Orang-orang memanggilku workaholic. Saking gilanya dengan pekerjaan, aku jarang pulang ke rumah untuk sekedar setor muka kepada istriku yang biasa-biasa saja. Aku lebih suka bermalam di tempat kerja setelah mengambil pekerjaan lembur.

Banyak orang yang menganggap remeh pekerjaan yang aku lakoni. Mereka berpikir pekerjaanku ini tidak terlalu menarik. Bagaimana mau menarik, kerjanya saja selalu berpindah. Mereka belum tahu saja hasil yang aku dapatkan dalam sehari. Dari pekerjaan ini aku bisa menghidupi istri dan anak semata wayangku. Aku juga bisa menyekolahkan anakku di sekolah yang ‘katanya’ standar nasional. Tabungan masa depan untuk mereka juga sudah aku siapkan. Semua itu bisa kulakukan berkat pekerjaan remeh ini.

Setiap hari aku bertemu dengan wajah-wajah baru. Aku sampai hafal arti dari setiap ekspresi mereka. Kebanyakan adalah ekspresi masam dan kecut. Jarang aku temukan ekspresi kebahagiaan pada orang yang aku temui. Bukankah kebahagiaan itu sederhana? Syukuri saja apa yang kita punya, maka kebahagiaan akan menghampiri kita. Aku bahagia dengan keadaanku sekarang. Aku bekerja dengan penuh passion dan tetap istiqomah.

Aku pulang dalam keadaan letih. Tenagaku terkuras habis. Sesampainya di rumah, aku langsung berbaring di ranjang, melupakan istriku yang berdiri di pintu masuk. Aku sempat melihat ke arahnya. Dia meneteskan air mata. Hampir setiap aku pulang dia seperti itu. Aku jadi muak. Sebagai istri, seharusnya dia memberikan semangat pada suaminya. Dia yang sudah aku nikahi selama 10 tahun malah melakukan sebaliknya. Dia memintaku untuk berhenti dari pekerjaanku sekarang dan mencari pekerjaan baru. Itulah yang membuatku muak dengannya. Kalau bukan karena anak-anakku, sudah lama aku meninggalkannya.

Ah, lupakan saja dia. Ada hal yang lebih penting dari itu. Anakku. Waktu itu anakku yang bernama Dani masih SD. Sejak kecil dia sudah aku didik untuk disiplin. Konsistensi dan kerja keras yang kita lakukan suatu saat pasti akan mendapatkan imbalan. Nilai itu yang selalu aku tanamkan padanya.

Prestasi Dani sangat membanggakan.Dia pernah menjadi juara dalam lomba cerdas cermat sekabupaten di bangku SD. Saat memasuki sekolah menengah dia meraih juara kelas 3 kali berturut-turut. Tak jarang Dani menyabet juara di kompetisi bergengsi tingkat provinsi dan nasional. Saat kuliah dia adalah aktivis yang selalu berada di garda terdepan untuk menentang kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat. Terpilih sebagai presiden mahasiswa tak membuatnya lupa dengan kuliah. Ia mampu membuktikan bahwa aktivis bisa lulus dengan cumlaude.

Kini anak semata wayangku itu memperjuangkan nasib rakyat di kursi DPR bersama dengan istrinya. Itulah mengapa dia selalu pergi setiap hari. Saat aku tanya tentang kepergiannya di akhir pekan, dia mengatakan itu ia lakukan untuk keperluan bisnisnya. Ya, ia adalah seorang pebisnis. Tapi entah bisnis apa yang ia jalankan.

Hari sudah semakin terik. Tubuh rentaku harus masuk ke dalam rumah untuk melepas dahaga. Hanya ini yang bisa aku ceritakan kepada kalian tentang kehidupanku yang singkat. Terima kasih sudah membaca.

Lelaki tua itu masuk ke dalam rumah, meneguk segelas air dan bersandar di kursi. Cucunya tiba-tiba berlari dengan membawa sebuah koran pagi yang baru diantarkan pengantar koran.

“Kakek, kakek..coba lihat. Papa dan Mama masuk koran.” Cucuku senang sekali saat memberikan koran itu padaku.

Aku tersenyum dan mengambil koran itu dari tangan mungilnya. Headline di halaman utama membuat napasku tersengal.

Dani dan Erna, pasangan suami istri anggota dewan tertangkap KPK.

Koran itu jatuh dari tanganku. Cucuku nampak keheranan dengan ekspresi wajahku yang tidak biasanya.

“Kakek kenapa?”

“Ah...tidak apa-apa sayang,” aku berbohong.

“Kakek, boleh aku tanya sesuatu?”

“Tentu saja. Malaikatku ini mau tanya apa?” aku membetulkan ekspresi. Aku tak mau menunjukkan perasaan kacauku pada cucuku ini.

“Aku selalu ingin tahu, dulu kakek kerjanya apa?”

Dalam hati aku berkata, “Pengemis.”

0 Response to "Surat Seorang Pekerja"

Posting Komentar

Apa pendapatmu tentang tulisan ini?

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel