Kebenaran yang Membutakan

Kebenaran yang Membutakan

Beberapa orang berpakaian putih berkumpul di sebuah tempat yang lapang. Di sepanjang jalan, lebih banyak lagi orang berpakaian serba putih. Salah satu dari mereka mengucap kalimat syahadat sambil berjalan di depan, memberikan instruksi pada yang lain untuk mengikutinya. Tak butuh waktu lama, warung makan di pinggir jalan hancur karena amukan massa. Para lelaki berpakaian serba putih itu pergi menuju tempat lain. Pakaian mereka tidak lagi putih, sudah agak buram karena debu yang didapat saat membongkar warung.

Begitulah sedikit gambaran mengenai kejadian yang selalu terulang. Lagi dan lagi. Setiap menjelang –dan pada saat bulan ramadhan, sekelompok orang melakukan sidak ke penjuru kota. Pada umumnya berpakaian serba putih yang konon melambangkan kesucian. Katanya, ingin menumpas kejahatan yang ada di sekitar mereka.

Mereka adalah orang yang berilmu, tahu bahwa orang tidak boleh makan saat berpuasa di bulan ramadhan. Mereka juga tahu benar kalau berjihad merupakan jalan menuju surga. Salah satu bentuk jihad adalah meluruskan yang keliru dan berperang melawan kebathilan.

Saya tidak bermaksud meragukan pengetahuan mereka tentang Islam. Saya menghormati mereka dan apa yang mereka yakini sebagai kebenaran. Mungkin saja apa yang saya yakini sebagai kebenaran berbeda dengan kebenaran versi mereka. Bagi saya yang awam ini, merusak hak milik orang lain, dengan alasan apapun, bukan termasuk kategori ‘kebenaran’. Tidak juga termasuk kebenaran jika manusia menghilangkan mata pencaharian penjual makanan.

Saya Islam, dan saya puasa saat Ramadhan. Saya menyayangkan orang-orang yang masih berjualan makanan di bulan suci ini. Saya juga menyayangkan orang-orang yang datang membeli makanan. Namun mereka tak sepenuhnya salah. Coba bayangkan apa yang terjadi pada mereka, seandainya mereka tidak berjualan, padahal berjualan makanan adalah profesi mereka. Bayangkan juga nasib para wanita yang sedang haid dan orang-orang non-muslim yang tidak berpuasa. Bayangkan kelaparan yang mereka derita kalau tidak ada lagi penjual makanan.

Di waktu dan tempat yang lain, saya pernah menyaksikan pemandangan yang mengenaskan sekaligus memprihatinkan di internet. Lelaki berpakaian serba putih lagi. Kali ini bukan warung yang menjadi incaran, melainkan kepala manusia. Dengan ekspresi yang datar, lelaki bersorban itu mengayunkan pedang dan memisahkan kepala orang di sebelahnya dari tubuhnya. Kejadian ini berlangsung singkat, pria bersorban tetap menunjukkan ekspresi datar.

Lagi-lagi masalah kebenaran. Orang yang ditebas kepalanya itu adalah non muslim. Mereka yang merasa benar dengan gampangnya menghilngkan nyawa seorang manusia hanya karena perbedaan keyakinan. Lakum diinukum waliyadiin. Itulah perintah Tuhan dalam Al-Qur’an. Tak ada gunanya kita memasuki wilayah keyakinan seseorang, apalagi memaksakan. Tak ada gunanya pula menjadi pembunuh dengan tameng jihad.

Saya mempunyai beberapa kenalan non-muslim, dan hubungan saya dengan mereka baik-baik saja. Mereka –meskipun memiliki keyakinan yang berbeda dengan saya- tetap menghormati saya, begitupun sebaliknya. Saya pernah mengikuti interfaith camp selama tiga hari bersama orang-orang non-muslim. Selama tiga hari kami hidup bersama dalam satu rumah, berbagi cerita, saling memahami dan bersenda gurau. Kami melakukan ibadah kami masing-masing tanpa saling mengganggu.

Dalam sebuah sesi, semua peserta interfaith camp mengeluarkan keluh kesahnya terhadap perlakuan yang mereka terima dari penganut agama lain. Dalam benak saya, penganut agama lain seringkali menjelek-jelekkan Islam, memfitnah bahkan melecehkan dengan berbagai cara. Dalam camp ini, saya menyadari bahwa kita –orang Islam- ternyata juga kerap kali melakukan hal yang sama. Seoang teman Kristen bercerita kepada kami tentang intimidasi yang ia dapatkan dari teman-temannya yang beragama Islam. Ada yang bercerita kalau Tuhan mereka sering diejek dan dihina oleh orang Islam. Yang lain mengungkapkan ketakutannya saat berada di wilayah yang mayoritas penduduknya Islam.

Selama interfaith camp saya mendapatkan pemahaman baru, bahwa perbedaan agama tidak menjadi penghalang bagi manusia untuk melebur dan bersosialisasi. Kita kadang terjebak dengan prasangka. Kita menganggap non-muslim sebagai musuh yang harus dihadapi bersama. Mereka itu keji, jahat dan wajib diperangi. Padahal mereka, sama halnya seperti kita, juga manusia. Tak jarang saya belajar banyak dari teman saya yang non-muslim. Saya juga mendengarkan penjelasan mereka tentang agama yang mereka yakini. Tak ada salahnya memahami agama lain. Justru dengan memahami agama lain, saya lebih meyakini kebenaran Islam.

Jika kita flashback ke masa lalu, terutama pada awal mula penyebaran Islam, hubungan antara Muslim dan non-muslim sangat baik, bahkan saling mendukung satu sama lain. Hal itu tak terlepas dari hubungan baik yang dijalin sejak dahulu. Islam tidak pernah memaksakan orang non-muslim untuk berpindah agama. Orang-orang non-muslim yang menetap di daerah kekuasaan Islam, dilindungi dan dijamin keselamatannya.

Contoh yang paling nyata tentang hubungan antar agama dapat kita lihat pada kehidupan Rasulullah. Abi Thalib, paman Rasulullah, selalu membela keponakannya dari kekejaman dan intimidasi orang-orang Quraisy. Abi Thalib menyayangi Rasulullah dan menghormatinya. Ia selalu ada di sisi Rasulullah, sejak Rasulullah menyerukan Islam hingga maut memisahkan. Sampai akhir hayatnya, Abi Thalib belum mengucapkan kalimat syahadat. Meskipun dia bukan seorang Muslim, Abu Thalib selalu berada di garis depan untuk membela Rasulullah.

Ada juga sebuah cerita yang cukup terkenal tentang Rasulullah dan seorang Yahudi buta. Rasulullah selalu mendapat ejekan dan hinaan dari si Yahudi buta yang sudah berumur. Rasulullah juga pernah mendapat kiriman ludah darinya. Saat si Yahudi buta sakit, Rasulullah mengunjunginya, bahkan menyuapi makan. Orang Yahudi itu tidak tahu kalau yang mengunjungi dia setiap hari saat sedang sakit adalah Rasulullah. Saat Rasulullah wafat, orang Yahudi itu mengetahui dari sahabat rasul tentang kunjungan Rasulullah terhadapnya. Karenanya, dia menyesal karena telah berbuat jahat kepada Rasulullah.

Iman itu urusan hati, begitupun perihal ibadah. Sebagai manusia kita tidak berhak mencampuri hati orang lain, terlebih memaksakan kehendak untuk mengubah pandangan orang lain tentang suatu hal. Rasulullah, panutan setiap umat Islam, telah memberikan kita contoh dalam berinteraksi dengan non-muslim. Mereka adalah saudara kita sesama manusia. Sudah sepantasnya kita memperlakukan mereka seperti manusia, saudara, bagian dari dunia yang kita tempati.

Islam diterima di berbagai penjuru dunia karena sikap toleran dan kesejukannya. Mengumbar amarah dan berbuat anarki hanya akan mengaburkan pemahaman dunia tentang Islam. Saat ini banyak orang-orang non-muslim yang takut terhadap Islam, mereka beranggapan bahwa Islam identik dengan terorisme dan perbuatan anarki atas nama agama. Semua itu karena aksi terorisme yang kerap terjadi, baik di Indonesia maupun di negara lain. Saya pribadi sangat tidak setuju dengan terorisme yang membawa nama ‘jihad’. Saya mempertanyakan jihad yang mereka maksudkan. Apakah jihad itu bermakna menghilangkan nyawa orang lain yang berbeda agama, bahkan anak-anak dan wanita?

Dari dulu, perjuangan untuk menyebarkan ajaran Islam tidaklah mudah. Para pendahulu kita menyebarkan Islam dengan semangat jihad yang masih murni. Islam tidak akan berperang, kecuali diserang terlebih dahulu. Jika memungkinkan, Islam menempuh jalan diplomasi dalam penyebarannya. Yang mamainkan peranan penting bukanlah pemerintahan Islam, melainkan orang-orang Islam pada saat itu. Mereka menyebarkan Islam dalam kehidupan sehari-hari mereka bersama non-muslim. Dengan perlahan, Islam terus berkembang dan menyebar ke penjuru dunia.

Tentu sangat mudah jika menyerukan Islam melalui terorisme. Membuat bom untuk menghancurkan tempat berkumpulnya non-muslim lebih mudah ketimbang menyerukan kedamaian dengan Islam. Membunuh non-muslim lebih mudah daripada membiarkannya menghirup napas segar dan bersahabat dengan mereka. Semuanya kelihatannya lebih mudah. Padahal, jika mereka mau membuang amarah dan nafsu bertempur mereka, berinteraksi dan membina hubungan baik dengan non-muslim jauh lebih mudah.

Beberapa tahun belakangan, muncul lagi aksi terorisme jenis baru. Tidak hanya memusuhi non-muslim, kelompok yang menyebut dirinya ISIS (Islamic State of Iran and Syuriah) menjadi perbincangan dunia karena aksinya yang turut melibatkan warga sipil. Bukan hanya non-muslim yang menjadi korban, penganut Islam yang berbeda aliran juga tak luput dari kekejaman ISIS. Ironisnya, negara-negara basis Islam di sekitar Syuriah menutup mata atas insiden yang terjadi. ISIS seperti mendapatkan dukungan tersembunyi dari kekuatan tertentu.

Aksi kekejaman yang diperlihatkan oleh ISIS semakin membuat Islam tampak menakutkan di mata dunia, terlebih mereka yang belum berkenalan langsung dengan Islam. Hal inilah yang kemudian menjadi bumerang bagi penganut agama Islam. Jarak antara Muslim dengan non-muslim semakin melebar dan sulit untuk disatukan kembali. Islamophobia, sebuah ketakutan yang mendalam terhadap hal yang berkaitan dengan Islam, menyebar di negara-negara dengan penduduk non-muslim.

Orang-orang non-muslim memahami Islam sebagai agama yang memprioritaskan jihad. Jihad yang mereka pahami adalah peperangan dan membunuh orang yang berbeda keyakinan. Tentu saja pemahaman mereka berbeda dari arti jihad yang sesungguhnya. Barangkali ISIS dan gerakan semacamnya juga memahami jihad secara berbeda. Menurut pemahaman saya, jihad tidak harus mengangkat senjata. Jihad di zaman modern ini merupakan peperangan melawan kebodohan, pembodohan, memperjuangkan kebebasan, serta memberikan pemahaman tentang Islam kepada non-muslim dengan santun dan damai.

Suatu ketika, pernah ada seorang pendeta yang menjelek-jelekkan Islam. Sebagai bentuk tanggapan terhadap hal tersebut, ulama-ulama dari beberapa negara menulis surat kepada pendeta tersebut. Surat-surat tersebut berisi tentang persamaan-persamaan Islam dan Kristen, serta ajaran Islam yang penuh kedamaian. Setelah membaca surat tersebut, pendeta yang sebelumnya sangat anti dengan Islam menjadi lunak dan menghormati Islam. Surat-surat yang kemudian dikenal dengan “a common words” itu menjadi jembatan yang menghubungkan pemuka agama di kedua belah pihak.

Saat ini, diskusi-diskusi lintas agama banyak bermunculan. Beberapa diantaranya merupakan diskusi yang penuh dengan nuansa kekeluargaan. Diskusi yang tujuannya untuk saling memahami, bukan mencari –atau bahkan memaksakan- agama yang paling benar. Beberapa merupakan kegiatan rutin suatu organisasi yang bergerak di bidang toleransi antar umat beragama. Yang lainnya merupakan diskusi kecil yang diadakan oleh komunitas independen yang peduli akan perdamaian. Namun masih ada diskusi yang bertujuan untuk beradu pendapat dan bersitegang mencari pemenang. Bentuk diskusi yang terakhir bukanlah diskusi yang baik, karena tidak akan memberikan pencerahan, malah menimbulkan ketidakpercayaan.

Selain bertukar pemikiran melalui pena dan diskusi, ada hal lain yang bisa diterapkan oleh kita untuk menemukan titik temu antara dua agama yang berbeda. Beberapa kali saya menemukan suatu kegiatan sosial yang diadakan oleh para pemuda. Mereka bukan mengatasnamakan agama, suku dan tempat kelahiran. Mereka membaur dan menjadi satu dalam sebuah gerakan. Perbedaan agama dan suku seringkali dijumpai, namun tak menyurutkan niat mereka untuk melakukan kegiatan sosial. Kegiatan semacam ini biasanya merupakan kegiatan sukarelawan, artinya mereka datang dan bergerak tanpa memperoleh apapun, justru mereka kadang menyisihkan materi untuk kegiatan tersebut.

Kegiatan seperti ini banyak kita jumpai di masyarakat, namun jarang kita sadari. Seperti misalnya kegiatan kemanusiaan untuk korban bencana alam, donor darah, mengajar di pelosok, membersihkan pantai dan perkotaan, dan hal-hal lainnya. Kegiatan-kegiatan tersebut tanpa disadari akan mempererat persatuan para pemuda. Dengan bersama-sama melakukan kegiatan positif, rasa persaudaraan akan tumbuh. Mereka dengan sendirinya juga akan memahami bahwa tidak ada alasan untuk menjauhi penganut agama lain, karena penganut agama lain tidaklah berbeda dengan mereka, sama-sama manusia yang punya hati.

Banyak jalan yang tersedia dalam proses pencarian dan memperjuangkan kebenaran. Ada jalan yang instan, ada juga jalan yang berliku. Jika ingin gampang, cukup dengan menjaga jarak dengan agama lain, mencemoohnya dan menghindari interaksi dengan mereka. Hal-hal yang demikian merupakan kebenaran yang semu, karena akan berdampak buruk bagi mereka sendiri, penganut Islam yang lain serta Islam sebagai agama. Akibat yang lebih besar lagi akan dialami oleh generasi selanjutnya. Generasi yang dicekoki dengan pemahaman nihil seperti itu akan menjadi generasi yang anti terhadap orang dengan pemahaman yang berbeda. Sehingga, mereka cenderung individualis dan melihat segala sesuatu hanya dari satu sudut pandang saja.

Contoh-contoh yang saya sebutkan di atas merupakan jalan alternatif yang lebih panjang dan berliku. Bertukar pikiran, saling memahami, terlibat dalam kegiatan positif dan saling menghargai hanyalah sedikit dari banyak hal lain yang bisa kita lakukan. Awalnya mungkin berat dan terdapat banyak hambatan, namun apabila dilakukan secara terus menerus, perubahan akan muncul dengan sendirinya. Baik perubahan cara pandang, sikap dan perbuatan orang-orang non-muslim terhadap muslim.

Akan menjadi lebih efektif lagi jika hal ini dilakukan secara berjemaah. Gerakan yang masiv dan terorganisir dengan baik, tentunya dalam nuansa kekeluargaan dan perdamaian, akan menciptakan sebuah era baru yang mencerahkan. Kebenaran sejati akan muncul menghapuskan prasangka yang terlanjur ada. Pada akhirnya, kebenaran sejati bukan tentang agama yang dianut, melainkan sejauh mana kita menjadi manusia yang sesungguhnya.

0 Response to "Kebenaran yang Membutakan"

Posting Komentar

Apa pendapatmu tentang tulisan ini?

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel