Radikalisme yang Diperkosa

Radikalisme yang Diperkosa


Belakangan ini kata radikal dan radikalisme sedang naik daun. Bahkan sering dibahas di berbagai media mainstream hingga media sosial. Upaya untuk menangkal penyebaran radikalisme pun beragam. Mulai dari sosialisasi empat pilar, menggandeng ulama untuk memberikan ceramah yang sejuk, mengawasi masjid, hingga wacana pelarangan cadar dan celana cingkrang di lingkungan Kementerian Agama.

Sebagai seorang akademisi, tak elok jika hanya menerima informasi tentang radikalisme tanpa proses verifikasi. Karena itu mari kita cari dulu apa yang dimaksud dengan radikalisme. Istilah radikal berasal dari Bahasa latin “radix” dan “radicis”. Berdasarkan The Concise Oxford Dictionary (1987) artinya adalah akar, sumber atau asal mula. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) radikal diartikan dengan secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip); amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); maju dalam berpikir atau bertindak. Sedangkan Kamus Ilmiah Popular karya M. Dahlan al-Barry terbitan Arkola Surabaya menuliskan bahwa radikal bermakna menyeluruh, besar-besaran, keras, kokoh dan tajam.

Selanjutnya, radikalisme dalam KBBI diartikan sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Hal senada juga tertulis dalam Kamus Ilmiah Populer yang mengartikan radikalisme sebagai paham politik kenegaraan yang menghendaki perubahan dan perombakan besar sebagai jalan untuk mencapai kemajuan.

Dari berbagai pengertian tersebut, bisa dikatakan bahwa istilah radikal sebenarnya netral. Tergantung dari penggunaannya, radikalisme bisa bermakna positif, bisa pula bermakna negatif. Radikal bisa dikatakan merupakan kebalikan dari kata moderat. Jika moderat selalu ingin mengambil jalan tengah, maka radikal ingin melakukan perubahan secara mendasar dan menyeluruh.

Mari kita tengok sejarah Indonesia yang berhubungan dengan radikalisme. Jika mengacu pada pengertian radikal di atas, para pejuang kemerdekaan adalah kelompok radikal. Proklamasi tidak akan terwujud tanpa adanya tekanan kaum radikal yang dimainkan oleh sekelompok pemuda. Golongan muda yang menculik Soekarno Hatta dan memaksa untuk segera melakukan pernyataan kemerdekaan itu jelas radikal. Soekarno yang awalnya ingin bersikap moderat dengan menunggu penyerahan kemerdekaan dari Jepang pada akhirnya setuju dengan sikap radikal untuk melakukan proklamasi keesokan harinya.

Lebih jauh lagi, para mahasiswa di era orde baru yang menuntut reformasi disertai dengan menduduki Gedung DPR adalah sekelompok mahasiswa radikal. Pemberontakan PKI tahun 1948 dan 1965 itu radikal. Begitu pun dengan pembantaian ratusan ribu hingga jutaan orang yang “diduga” dan “dituduh” PKI itu juga tindakan radikal. Gerakan perlawanan OPM di Papua itu juga radikal, yang kemudian hanya dilabeli sebagai gerakan separatis.

Kata radikal diperkosa oleh kesalahan nalar dan pelabelan yang sembrono oleh aparatur negara tanpa mengetahui makna sebenarnya dari istilah yang digunakan. Radikalisme kini menjadi suatu momok yang menakutkan lantaran selalu diucapkan dengan konotasi negatif melalui beragam saluran informasi. Islam yang merupakan agama mayoritas di Indonesia menjadi kambing hitam. Seolah kata radikal hanya ditujukan pada orang-orang yang dikatakan sebagai Islam garis keras, intoleran dan anti kebhinekaan. Hal ini semakin marak ketika bangkitnya populisme Islam di tahun-tahun politik, semenjak Pilkada DKI Jakarta hingga Pilpres 2019.

Radikalisme diperkosa oleh kepentingan politik yang dibungkus dengan pelabelan yang tidak adil pada Islam. Ketika mendengar kata radikalisme, apa yang terbayang di benak masyarakat? Barangkali langsung tergambar di kepalanya orang-orang berjenggot panjang, bercelana cingkrang, wanita bercadar dan semacamnya. Jangankan masyarakat biasa, selevel Menteri saja kini mulai alergi dengan cadar dan celana cingkrang. Padahal itu adalah hak individu untuk menjalankan keyakinan yang dianutnya yang tidak bisa diintervensi oleh negara. Lantas, siapa yang intoleran dan anti kebhinekaan?

Radikalisme harus dikembalikan ke fungsi yang sebenarnya sebagai sebuah istilah netral. Radikal dalam beragama belum tentu akan mengarah kepada terorisme. Bahkan dalam Islam, idealnya kita memang harus radikal dalam mengikuti pedoman beragama berupa Al-Qur’an dan Hadits. Pelabelan radikalisme yang hanya ditujukan pada kelompok tertentu dalam Islam hanya akan memecah belah bangsa dan semakin menjauhkan kelompok tersebut dari negara. Daripada sibuk menggunakan istilah radikal yang salah kaprah, jauh lebih penting meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Karena dalam masyarakat yang makmur dan bahagia, tidak akan ada gerakan radikal dalam bentuk apapun.

0 Response to "Radikalisme yang Diperkosa"

Posting Komentar

Apa pendapatmu tentang tulisan ini?

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel